UPACARA MEMPERINGATI HUT RI KE-69

Upacara HUT RI yang ke 69 diadakan di Stadion Galuh Ciamis.

PAWAI OBOR

Ambalan Prabalarang ikut serta dalam memeriahkan pawai obor yang diselenggarakan di alun-alun ciamis dalam memperingati HUT PRAMUKA dan HUT RI.

Memeriahkan HUT PRAMUKA

Ambalan Prabalarang memeriahkan HUT Pramuka dengan mengadakan perlombaan di SMA INFORMATIKA CIAMIS.

MATA CAKAP SMA INFORMATIKA CIAMIS

Mata Cakap SMA INFORMATIKA CIAMIS Tahun 2014/2015. Bertempat di Lapangan SMA INFORMATIKA CIAMIS tanggal 6-8 Agustus 201.

LATIHAN GABUNGAN

Latihan Gabungan pangkalan SMA INFORMATIKA CIAMIS dengan SMK MIFTAHUSSALAM

Jumat, 29 Agustus 2014

HISTORY NYI SUBANG LARANG

Sejarah Nhay(Nyai) Subang Larang

Nhay (Nyai) Subang Larang adalah putri dari Ki Gedeng Tapa, seorang mangkubumi dari Nagari Singapura, dari Nhay Ratu Karanjang (putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang). Subang Larang lahir pada 1404 M. Carita Purwaka Caruban Nagari mengisahkan bahwa Subang Larang adalah salah satu istri dari Raden Pamanah Rasa yang kelak marak menjadi Raja Pajajaran.

Nama Nhay Subang Larang tertulis dalam Carita Purwaka Caruban Nagari. Carita Purwaka Caruban Nagari (disingkat CPCN) merupakan karya Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720 (150 tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat), dengan menggunakan bahasa Jawa-Cirebon. Pangeran Arya Cerbon menggunakan naskah Nagarakretabumi, salah satu judul dari enam Naskah Wangsakerta, sebagai rujukan dalam menulis CPCN. Naskah ini kemudian diterjemahkan oleh Pangeran Sulendraningrat (1972) dan Atja (1986).

Sementara Carita Parahyangan malah tak menyebutkan sama sekali nama Subang Larang atau nama yang bisa dikaitkan dengan keberadaan Subang Larang. Dalam Carita Ratu Pakuan atau Kropak 410 (diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-17 atau awal abad ke-18), nama Subang Larang pun tak ada; yang tertera hanya nama Ngabetkasih, istri lain Prabu Siliwangi, madu sekaligus sepupu Subang Larang.

Nagari-nagari yang Berada dalam Wilayah Galuh pada Abad ke-15
Sebelum membahas perihal Subang Larang, ada baiknya kita tinjau keberadaan nagari-nagari di sekitar Cirebon-Majalengka pada abad ke-15, masa di mana Subang Larang hidup. Nagari-nagari ini awalnya merupakan pecahan Wanagiri Besar atau Indraprahasta, termasuk wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh. Jumlahnya ada enam, yakni:

1. Wanagiri
Nagari ini terletak 17 km sebelah barat Amparan Jati (kini di Desa Kalangenan, Kecamatan Paliaman, Cirebon), di timur berbatasan dengan Japura, Singapura, dan Surantaka; di selatan dengan Rajagaluh; di barat dengan Sumedang Larang. Diperkirakan, Wanagiri ini merupakan pusat/ibukota Nagari Wanagiri Besar atau Indraprahasta. Wanagiri dipimpin oleh Ki Gedeng Kasmaya, kakak Ki Gedeng Surawijaya dan saudara Prabu Anggalarang, dan juga mertua Ki Gedeng Tapa.

2. Surantaka
Nagari ini terletak 4 km di utara Giri Amparan Jati (makam Sunan Gunung Jati) dan Muara Jati. Nagari ini dikuasai oleh syahbandar bernama Ki Gedeng Sedhang (Sindang) Kasih yang juga bertanggung jawab atas pelabuhan Muara Jati. Ki Gedeng Sedhang Kasih merupakan saudara Prabu Anggalarang Raja Galuh (nama ini dapat disamakan dengan Rahiyang Dewa Niskala yang tertera pada Prasasti Batu Tulis di Bogor).

3. Singapura
Nagari ini terletak 4 km di utara Giri Amparan Jati, berbatasan dengan Surantaka; di barat dengan Wanagiri; di selatan-timur dengan Japura, di timur dengan Laut Jawa. Nagari ini dikuasai oleh Ki Gedeng Surawijaya Sakti, saudara Ki Gedeng Sedhang Kasih. Yang mangkubuminya adalah Ki Gedeng Tapa. Sepeninggal Ki Gedeng Sedhang Kasih, kekuasaan pelabuhan Muara Jati masuk ke dalam wilayah Singapura. Pada waktu inilah, Ki Gedeng Surawijaya mengangkat Ki Gedeng Tapa menjadi Syahbandar Pelabuhan Muara Jati.

4. Japura
Nagari ini terletak 17 km sebelah tenggara Giri Amparan (hingga kini ada desa dan kecamatan bernama Astana Japura di Cirebon), penguasanya bernama Amuk Murugul. Pada tahun 1422 terjadi peperangan antara Japura melawan Singapura pimpinan Raden Pamanah Rasa. Serangan ini mungin dilancarkan pihak Singapura karena melihat Nagari Japura yang merupakan negeri pesisir yang ramai dikunjungi perahu-perahu asing, yang jelas dapat membahayakan perekonomian Galuh. Japura oun kalah, kemudian nagari ini bergabung dengan Singapura. Tak jelas siapa orang yang ditugasi menjadi penguasa Japura setelah kalah oleh Singapura, apakah Pamanah Rasa atau orang lain yang ditunjuk oleh Prabu Anggalarang, penguasa Galuh sekaligus ayah Pamanah Rasa.

5. Talaga
Nagari ini terletak sekitar 70 km sebelah barat Amparan Jati, di lereng barat Gunung Cireme (sekarang termasuk Kecamatan Talaga, Majalengka); jadi lumayan jauh dari pelabuhan Muara Jati. Di sebelah utara, Talaga berbatasan dengan Rajagaluh, dibaratdaya dengan Sumedang Larang, di selatan dengan Kawali, ibukota Kerajaan Galuh. Menurut cerita rakyat, para penguasa Talaga masih merupakan kerabat raja-raja Galuh. Pada masa Sunan Gunung Jati, penguasa Talaga adalah Prabu Pucukumum yang kemudian menjadi resi dan menyerahkan Talaga kepada Susuhunan tersebut.

6. Rajagaluh
Nagari ini terletak sekiatr 30 km di barat Amparan Jati, di lereng utara Gunung Cireme, jejaknya dapat dilihat pada sebuah desa dan kecamatan bernama Rajagaluh di Kab. Majalengka. Di selatan, Rajagaluh berbatasan dengan Talaga, di barat dengan Sumedang Larang, di timur Caruban Girang, di utara dengan Wanagiri; jadi letaknya cukup jauh dari Laut Jawa.

Murid Syekh Hasanudin di Pesantren Quro, Karawang
Ayah Subang Larang adalah Ki Gedeng Tapa, mangkubumi di Singapura. Nagari Singapura merupakan pecahan Nagari Wanagiri Besar yang dirajai Prabu Indraprahasta, termasuk kekuasaan Galuh. Ibunya bernama Nhay Ratu Karanjang, putri Ki Gedeng Kasmaya penguasa Wanagiri, yang masih saudara dari Prabu Anggalarang. Oleh penguasa Surantaka Ki Gedeng Surawijaya Sakti, Ki Gedeng Tapa alias Ki Gedeng Juman Janti diangkat menjadi syahbandar pelabuhan Muara Jati.

Syahdan, pada 1415 M, datanglah rombongan armada Cina yang dipimpin Laksamana Zheng He (Cheng Ho) dan Kun Wei Ping tiba di Muara Jati dalam jumlah prajurit 27 ribu dengan kapal-kapal yang sangat besar sebanyak 63. Mereka singgah di Muara Jati karena hendak membeli perbelakan untuk melanjutkan perjalanan “muhibah”-nya ke Majapahit. Di sinilah, Ma Huan, sekretaris Zheng He, menikah dengan Nhay Rara Ruda, saudara Ki Gedeng Tapa. Singapura ketika itu dipimpin oleh Ki Gedeng Surawijaya Sakti, saudara Ki Gedeng Sindang Kasih. Ada pun kakak Ki Gedeng Surawijaya, yakni Ki Gedeng Kasmaya adalah penguasa Nagari Wanagiri yang mertua Ki Gedeng Tapa dan kakek Subang Larang. Di Muara Jati ini, Ma Huan memunyai nama batu, Ki Dampu Awang.

Pada 1416, Nhay Subang Larang yang berusia 12 tahun, bersama Ki Dampu Awang, Nhay Rara Ruda (istri Dampu Awang, saudara Ki Gedeng Tapa), dan Nhay Aci Putih (putri Dampu Awang-Rara Ruda) pergi berlayar ke Malaka. Mereka berada di Malaka selama 2 tahun, lalu kembali ke Muara Jati tahun 1418.

Bertepatan dengan kedatangan Subang Larang, pada 1418, tiba pula seorang ulama Islam bernama Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidik yang menumpang perahu dagang dari Campa (kini termasuk wilayah Vietnam dan sebagian Kamboja). Syekh Hasanuddin pun kemudian akrab dengan Ki Gedeng Tapa, syahbandar Muara Jati. Mungkin, saat inilah Ki Gedeng Tapa memutuskan untuk memeluk Islam.

Kegiatan penyebaran Islam oleh Syekh Hasanuddin sangat mencemaskan penguasa Galuh (di Kawali, Ciamis) yakni Prabu Angga Larang alias Prabu Dewata Niskala, putra Niskala Wastukancana, cucu Prabu Linggabhuwana yang gugur di Bubat. Sang Prabu diminta agar penyebaran agama tersebut dihentikan. Oleh Syekh Hasanuddin perintah itu dipatuhi. Kepada utusan yang datang kepadanya ia mengingatkan, bahwa meski dakwah itu dilarang, namun kelak keturunan Prabu Angga Larang akan ada yang menjadi seorang waliyullah. Kemudian Syekh Hasanuddin mohon diri kepada Ki Gedeng Tapa untuk pergi ke Karawang. Sebagai sahabat, Ki Gedeng Tapa cukup prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama besar itu, sebab ia pun sebenarnya masih ingin menambah pengetahuannya tentang Islam. Oleh karena itu, sewaktu Syekh Hasanuddin hendak ke Karawang, putrinya Subang Larang dititipkan ikut bersama ulama besar ini untuk belajar Islam di Malaka.

Perjalanan pun dimulai. Setelah memasuki Laut Jawa, kemudian rombongan memasuki muara Sungai Citarum yang ramai dilayari oleh perahu para pedagang yang memasuki wilayah Pajajaran. Selesai menyusuri Sungai Citarum akhirnya rombongan perahu singgah di Pura Dalem di Pelabuhan Karawang. Kedatangan rombongan ulama besar ini disambut baik oleh petugas Pelabuhan Karawang dan diizinkan untuk mendirikan musola untuk belajar mengaji dan tempat tinggal. Syekh Hasanudin yang menganut Mazhab Hanafi, menamai pesantren yang terletak di Pura, Desa Talagasari, Karawang, tersebut sebagai Pesantren Quro—maka itu ia lebih dikenal dengan nama Syekh Quro. Subang Larang belajar di situ selama dua tahun. Tahun 1420 ia kembali ke kampung halamannya di Singapura.

Pada tahun 1420 ini pun, datang seorang ulama dari Baghdad bernama Syekh Datik Kahfi alias Syekh Idofi bersama pengiringnya yang berjumlah 12 orang, yang terdiri atas 10 pria, 2 wanita. Syekh ini pun lalu berteman baik dengan Ki Gedeng Tapa. Permintaan Syekh Datuk Kahfi untuk menetap di Pasambangan yang terletak dekat Muara Jati, direstui oleh Ki Gedeng Tapa. Di tahun selanjutnya, Syekh Datuk Kahfi memiliki nama lain, yaitu Syekh Nurul Jati. Ia menetap di sini hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di Giri Amparan Jati atau Gunung Jati.

Menikah dengan Raden Pamanah Rasa
Berita tentang dakwah Syeh Hasanuddin di pelabuhan Karawang rupanya terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dahulu pernah melarang Syekh Quro melakukan kegiatan yang sama di pelabuhan Muara Jati, Cirebon. Sang Prabu segera mengirimkan utusan yang dipimpin oleh sang putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Tatkala Pamanah Rasa tiba di tempat tujuan, ia disuruh oleh Syekh Quro untuk pergi ke Singapura menemui Ki Gedeng Tapa.

Tiba di Singapura pada 1422, Pamanah Rasa mendengar ada sayembara yang diselenggarakan di Nagari Surantaka. Hadiahnya: seorang gadis bernama Subang Larang yang konon cantik. Singkat cerita, sayembara dimenangkan Pamanah Rasa. Maka terjadilan pernikahan berbeda agama ini. Konon, pernikahannya dilaksanakan di Pesantren Quro (kini Mesjid Agung) di mana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulu. Pada tahun yang sama, Pamanah Rasa pun berhasil mengalahkan Raja Amuk Murugul dari Japura. Namun tak diketahui, peristiwa mana dulu yang terjadi, apakah sayembara Subang Larang atau perang melawan Amuk Murugul.

Besar kemungkinan, setelah menikah, Subang Larang diboyong ke istana Galuh oleh Pamanah rasa. Baru, setelah Pamanah Rasa dilantik menjadi Raja Pajajaran di Pakuan bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Ratu Dewata (tertulis pada Prasasti Batu Tulis), menggantikan uwaknya sekaligus mertuanya, Susuk Tunggal, pada 1447 M, maka Subang Larang pun menetap di Pakuan, bersama istri-istri Sang Prabu yang lain.

Selain beristri Subang Larang, Raden Pamanah Rasa menikahi pula Nhay Ambet Kasih (Ngabetkasih), putri Ki Gedeng Sedhang Kasih. Jadi, Ambet Kasih merupakan sepupu Subang Larang sendiri. Pernikahan ini membuat Ki Gedeng Sedhang Kasih—yang juga paman Pamanah Rasa—memberikan daerah Sindang Kasih (sekarang termasuk Kecamatan Beber, Cirebon) kepada Raden Pamanah Rasa. Sindang Kasih ini terletak 15 km arah selatan dari Surantaka. Kemungkinan besar, Nagari Surantaka disatukan ke dalam wilayah Singapura oleh Pamanah Rasa.

Menurut CPCN, Prabu Siliwangi memiliki istri lain bernama Nyai Aciputih, putri Ki Dampu Awang. Yang menjadi permaisuri Sri Baduga adalah Kentring Manik Mayangsunda, keponakannya sendiri, putri Susuktunggal. Pernikahannya dengan Kentring Manik membuahkan putra bernama Surawisesa.

Leluhur Raja-raja Cirebon dan Banten
Pasangan Sri Baduga – Subang Larang memiliki tiga orang anak, yakni Walangsungsang, Lara Santang, dan Raden Sengara. Diperkirakan, ketika putra-putri telah berusia di atas 17 tahun, Subang Larang meninggal dunia. Tak jelas kapan tahun wafatnya dan di mana ia dikuburkan. Sementara itu, sang suami yakni Prabu Siliwangi masih hidup.

Setahun setelah ibunya wafat, Walangsungsang pergi meninggalkan keraton Pakuan, disusul adiknya, Lara Santang. Dalam perjalanan, Walangsungsang singgah di rumah Ki Gedeng Danuwarsih, seorang pendeta Buddha. Di sini ia menikah dengan putri Danuwarsih bernama Nhay Endang Geulis. Lara Santang pun tiba di rumah pendeta ini. Setelah itu, Walangsungsang, istrinya, dan Lara Santang pergi menuju Singapura dan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi di Pesantren Pasambangan selama 3 tahun. Oleh Syekh ini, Walangsungsang diberi nama baru: Ki Samadullah. Oleh gurunya tersebut, Walangsungsang disuruh membuka lahan baru di Kebon Pesisir. Setelah itu, daerah tersebut bernama Tegal Alang-alang, 6 km timur Pasambangan. Di Tegal Alang-alang ini telah ada pula penguasanya bernama Ki Danusela alias Ki Gedeng Alang-alang, adik Ki Gedeng Danuwarsih. Di tempat ini Walangsungsang diangkat sebagai Pangraksabumi oleh Ki Danusela dan bergelar Ki Cakrabumi. Tak lama kemudian, ia dan adiknya, Lara Santang disuruh pergi ke Mekah, sementara istrinya tak ikut karena hamil.

Di Tanah Arab, Lara Santang kemudian menikah dengan Maulana Sultan Muhammad (Syarif Abdullah), seorang bangsawan Arab yang berada di wilayah kekuasaan Sultan Mesir. Pernikahan ini melahirkan dua anak lelaki bernama Syarif Hidayat (Hidayatullah) dan Syarif Nurullah. Lara Santang pun memiliki nama baru, yaitu Syarifah Mudain. Di sini Walangsungsang punya nama muslim, Haji Abdullah Iman. Tiba bulan menunaikan haji, Walangsungsang sendiri pulang ke Jawa. Sementara Lara Santang diam di Arab.

Tiba di Jawa—setelah sebelumnya menetap di Campa—Walangsungsang membangun masjid kecil tahun 1456. Ia lalu diangkat menjadi Kuwu Caruban II, menggantikan Ki Danusela Kuwu Caruban I. Putri Ki Danusela bernama Nhay Rena Riris pun dinikahinya. Di sini Raden Walangsungsang memiliki gelar baru: Pangeran Cakrabuana.

Mendengar anaknya telah kembali dan memiliki kekuasaan di Caruban yang berhasil menggantikan posisi  Singapura, Prabu Siliwangi mengirim utusan yakni Tumenggung Jagabaya serta Raden Sengara, adik Walangsungsang. Oleh Sang Prabu, Walangsungsang diberi gelar Pangeran Sri Mangana sekitar tahun 1460. Jelas, sang ayah tak keberatan dengan adanya nagari baru bernama Caruban Larang. Asal saja, Cakrabuana tetap harus mengirimkan upeti ke Pajajaran, dan tetap merupakan bawahan Galuh. Raden Sengara sendiri akhirnya tak kembali ke istana, sebaliknya ikut menetap di Caruban, dan menikah dengah Nhay Halimah asal Campa dan ikut masuk Islam.

Syahdan, putra sulung Lara Santang, yakni Syarif Hidayatullah, meninggalkan Timur Tengah untuk pulang ke Jawa. Ia menolak untuk menggantikan ayanya sebagai sultan, karena ini menjadi mubalig di Jawa, kampung halaman ibunya. Sebelum tiba di Cirebon, ia singgah dulu di Gujarat (India), Samudra Pasai di Sumatra, Banten, dan Ampel Gading di Jawa bagian timur. Atas hasil sidang para Wali Sanga, maka diputuskan agar menetap di Cirebon guna islamisasi.

Tibalah Hidayatullah di Muara Jati/Pasambangan pada tahun 1475. Di sini ia, yang usianya sekitar 27 tahun, mengunjungi Pangeran Cakrabuana, uwaknya. menggantikan Cakrabuana dan marak menjadi penguasa Cirebon Girang. Di sini ia mendirikan pesantren di Dukuh Sembung dan Kampung Babadan. Di Babadan ia menikah dengan Nhay Babadan, putri Ki Gedeng Babadan. Raden Sengara pun dikenal sebagai Kian Santang. Lalu Syarif Hidayat diutus untuk pergi ke Banten kembali. Penguasa Banten, Bupati Kawunganten tertarik akan dakwah Islam Syarif Hidayat, lalu memeluk Islam. Adiknya, Nhay Kawunganten pun dinikahkan dengan Syarif Hidayat. Pernikahan ini membuahkan dua orang anak: Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin.

Tahun 1479, ia kembali ke Caruban, dan kemudian menggantikan Pangeran Cakrabuana yang telah tua dan sakit-sakitan. Kebetulan uwaknya ini tak punya keturunan laki-laki, maka jadilah Syarif Hidayat menjadi penguasa Nagari Caruban. Ia pun bergelar Tumenggung Susuhunan Jati. Selain itu, Syarif Hidayatullah punya gelar-gelar lain: Sayid Kamil, Nuruddin Ibrahim, Syekh Maulana Jati, dan Susuhunan Jati Purba. Pustaka Nagara Kretabhumi menceritakan bahwa pada tanggal 12 bagian terang, bulan Caitra, tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya dibawa setiap tahun ke Pakuan.

Kemudian ada berita: pasukan Angkatan Laut Demak telah ditempatkan di Pelabuhan Cirebon untuk menjaga kemungkinan datangnya serangan Pajajaran. Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya lebih besar. Akhirnya Jagabaya menyerah dan masuk Islam. Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Namun, pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) Keraton, Ki Purwa Galih. Perang saudara pun akhirnya dapat dicegah.

Persekutuan Demak-Cirebon sangat mencemaskan pikiran Sri Baduga di Pakuan. Mungkin pula, kepindahan ibukota dari Kawali (Galuh) ke Pakuan atas pertimbangan bahwa Kawali yang dekat dengan Cirebon (yang telah dikuasai Demak sejak 1475) merupakan target Demak berikutnya untuk menguasai Jawa Barat. Mengingat wilayah Sunda belum tumbuh menjadi potensi politik Islam yang nyata, Sri Baduga memusatkan perhatiannya terhadap Selat Sunda sambil mendekati pihak Portugis di Malaka. Maka, pada tahun 1512 dan 1521, ia mengirimkan misi datang dan persahabatan kepada Panglima Portugis, Alfonso d’Albuquerque, di Malaka, yang ketika itu baru saja merebut Samudra Pasai. Dengan dikuasainya Selat Sunda oleh Pajajaran dan Selat Malaka oleh Portugis, bagi Demak sangat sukar untuk menguasai perairan di Nusantara. Bagi pihak Demak, jelas upaya Pajajaran ini meresahkan mereka.

Menurut Carita Parahyangan, Sri Baduga Maharaja wafat pada 1521 setelah memerintah selama 39 tahun. Ia dipusarakan di Rancamaya, maka itu disebut secara Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya. Rancamaya terletak kira-kira 7 km di sebelah tenggara Kota Bogor, di mana Sri Baduga pernah membuat hutan buatan dan telaga. Setelah itu yang menjadi raja di Pakuan adalah Surawisesa. Pada masa inilah, Pajajaran banyak kehilangan wilayah kekuasaannya. Dua pelabuhannya berturut-turut jatuh ke pihak Demak-Cirebon-Banten; tahun 1526 pelabuhan Banten, tahun 1527 Sunda Kalapa. Pada tahun berikutnya, 1528, peperangan bergeser ke arah timur, di Rajagaluh, Majalengka. Tahun 1530, terjadi peperangan di Talaga, daerah di mana salah seorang istri Surawisesa berasal. Sementara Cirebon melanjutkan serangannya dari Talaga menuju jantung ibukota Galuh dan Galunggung.

Setelah Surawisesa mangkat, berturut-turut raja di Pakuan silih berganti, dari Ratu Dewata, Ratu Saksi, hingga Prabu Nilakendra. Pada masa Nilakendra, serangan ke Pakuan pun dilancarkan oleh pihak Banten pimpinan Panembahan Hasanuddin alias Pangeran Sabakingkin yang diangkat menjadi sultan Banten tahun 1552 oleh ayahnya, Syarif Hidayatullah. Pada masa selanjutnya, yang memerintah Pajajaran adalah Ratu Ragamulya alias Suryakancana, di mana ia tak lagi diam di Pakuan melainkan di tempat pelarian di Pulasari, Pandeglang. Pada era inilah di tahun 1579, Pakuan berhasil dimasuki tentara Banten pimpinan Panembahan Maulana Yusuf, meski istananya tetap tak bisa dijebol karena telah diperkuat dengan parit-parit yang cukup terjal oleh Sri Baduga dulu.

Pihak Banten yang merasa berhak atas wilayah Pajajaran segara membawa palangka (singgasana) Sriman Sriwacana ke Surosowan, ibukota Kesultanan Banten. Sriman Sriwacana, tempat duduk untuk penobatan takhta ini, ini berukuran 200 x 160 x 20 cm; oleh orang Banten disebut Watu Gilang (batu mengkilat). Pemboyongan palangka ke Banten ini bertujuan agar di Pakuan tidak ada lagi penobatan raja baru. Dengan begitu, Maulana Yusuf berhak mengklaim sebagai penerus Pajajaran. Palangka Sriman Sriwacana ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan di Banten.

Ketika Pajajaran ini runtuh pada 1579, menurut Kitab Waruga Jagat, saat itulah wilayah Sumedang Larang pun menyatakan sebagai negara “penerus Pajajaran” dengan Prabu Geusan Ulun sebagai raja pertamanya. Besar kemungkinan, banyak penghuni Pakuan yang pindah ke Sumedang; dan sebagian lagi bermigrasi ke Banten mengikuti kepemimpinan Sultan Banten. Diperkirakan, banyak pengikut dan punggawa Pajajaran yang pergi dan menetap di daerah Lebak, yang menerapkan tata cara kehidupan tradisional yang cukup ketat, dan dikenal sebagai orang Baduy.

Keruntuhan Pajajaran ini ternyata, salah satunya, disebabkan oleh rongrongan mereka yang masih keturunan raja Pajajaran sendiri. Cirebon dan Banten, dua kerajaan baru dengan ideologi baru, yakni Islam, telah berhasil mengambil alih kekuasaan politik Sunda-Pajajaran; dan orang yang paling berperan dalam hal ini adalah Syarif Hidayatullah, cucu Prabu Siliwangi-Subang Larang, sekaligus pendiri pondasi Kesultanan Cirebon dan Banten.

Mengenai kisah Prabu Siliwangi, banyak cerita yang beredar. Menurut sebuah legenda, konon Prabu Siliwangi pergi meninggalkan keraton Pakuan lalu menuju ke Hutan Sancang di selatan Garut, setelah dikejar-kejar putranya sendiri yakni Kian Santang agar masuk Islam. Sang Prabu yang enggan masuk Islam, disertai sejumlah pengikut setianya, pantang berseteru dengan putranya sendiri dikarenakan hanya masalah keyakinan. Untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan, Prabu Siliwangi berubah wujud (ngahiyang) menjadi harimau putih, sedangkan para pengikutnya menjadi harimau loreng.

Kritik
Apa yang diberitakan CPCN tentang Nhay Subang Larang tentu tak dapat dikatakan seratus persen akurat. Alasan pertama, karena kitab tersebut ditulis hampir dua abad setelah Subang Larang tiada. Kedua, kitab-kitab yang ditulis sezaman dengan Subang Larang, misalnya Carita Parahyangan, tak menyebut-nyebut nama Subang Larang. Pun kitab-kitab sesudahnya, seperti Carita Ratu Pakuan, tak membahas keberadaan Subang Larang ini. Ketiga, ada versi-versi yang berbeda mengenai kisah perjalanan Subang Larang—meski perbedaannya tak mencolok. Ada yang mengatakan bahwa Raden Pamanah Rasa pertama melihat Subang Larang ketika putri Ki Gedeng Tapa ini tengah mengaji Al Qur’an di Pesantren Quro. Karena langsung jatuh hati, Pamanah Rasa pun meminang sang putri, dan kemudian pernikahan dilakukan di pesantren milik Syekh Hasanuddin di Karawang tersebut. Ini berbeda dengan versi CPCN yang mengisahkan bahwa Pamanah Rasa memperisitri Subang Larang setelah berhasil memenangkan sayembara di Surantaka.

Namun, sebagai sosok historis, keberadaan Nhay Subang Larang cukup penting dalam perjalanan sejarah sosial, relegi, dan politik di Tatar Sunda di kemudian hari. Kejayaan Pajajaran diganti oleh kehadiran Kesultanan Cirebon dan Banten, di mana sosok Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati, cucu Subang Larang, merupakan tokoh kunci dari segala perubahan yang terjadi di Jawa bagian barat, yang dimulai pada abad ke-15, hingga kini.

Sumber Bacaan:
Atja dan Edi S. Ekadjati. 1987. Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara I.1: Suntingan Naskah dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: Cuplikan Sejarah Sunda Berdasarkan Naskah-naskah “Panitia Wangsakerta” Cirebon. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sunardjo, Unang, R.H. 1983. Meninjau Sepintas Panggung Sejarah Pemerintahan Kerajaan Cirebon 1479-1809. Bandung: Tarsito.

source: http://www.kalangsunda.net/nhaynyaisubanglarang.htm

Kamis, 24 Juli 2014

Beberapa saka di Pramuka



Satuan Karya Pramuka (Saka)  adalah wadah pendidikan guna menyalurkan minat, mengembangkan bakat dan pengalaman para pramuka dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Satuan Karya diperuntukkan bagi para Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega[1] atau para pemuda usia antara 16-25 tahun dengan syarat khusus. Setiap Satuan Karya memiliki beberapa krida, yang masing-masing mengkhususkan pada subbidang ilmu tertentu. Setiap Krida memiliki Syarat Kecakapan Khusus untuk memperoleh Tanda Kecakapan Khusus Kelompok Kesatuan Karyaan yang dapat diperolehPramuka yang bergabung dengan Krida tertentu di Saka tersebut.
Satuan Karya Pramuka juga memiliki kegiatan khusus yang disebut Perkemahan Bakti Satuan Karya Pramuka disingkat Pertisaka yang dilaksanakan oleh tiap-tiap saka, sedangkan kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama lebih dari satu saka yang disebut Perkemahan Antar Satuan Karya Pramuka disingkat Peransaka. Kegiatan Peransaka antara lain melakukan transfer bidang keilmuan masing-masing Satuan Karya.
Pada dasarnya Satuan Karya hanya diatur di tingkat nasional oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka, namun ternyata ada Satuan Karya yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Kwartir Daerah yang bersangkutan.
Pengorganisasian
Saka dibentuk di Kwartir Ranting, Saka dapat dibentuk di Kwartir Ranting atas kehendak dan minat yang sama dari Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega, disesuaikan dengan situasi dan kondisi di wilayahnya. Saka dibentuk oleh dan berada di bawah wewenang, pengelolaan, pengendalian dan pembinaan Kwartir Ranting, sedangkan pengesahannya dilakukan oleh Kwartir Cabang. Apabila Kwartir Ranting belum mampu membentuk Saka, maka pembentukan Saka dapat dilaksanakan oleh Kwartir Cabang yang wewenang, pengelolaan, pengendalian dan pembinaannya oleh Kwartir Cabang.[1]

Macam-macam Saka

1.     Saka Dirgantara
2.     Saka Bhayangkara
3.     Saka Bahari
4.     Saka Bakti Husada
5.     Saka Bina Sosial
6.     Saka Keluarga Berencana (Kencana)
7.     Saka Kerohanian
8.     Saka Pandu Wisata
9.     Saka Pekerjaan Umum (PU)
10.  Saka Pustaka
11.  Saka Taruna Bumi
12.  Saka Teknologi
13.  Saka Telematika
14.  Saka Wanabakti
15.  Saka Wira Kartika
16.  Saka Kalpataru
17.  Saka Widya Bakti


Kamis, 10 Juli 2014

ADAT AMBALAN

ADAT AMBALAN PRABU DIMUNTUR
GUDEP 01.137
PANGKALAN SMA INFORMATIKA CIAMIS

1.     Memahami Tri Satya dan Dhasa Dharma
2.     Saling Menghormati dan menghargai sesama anggota ambalan
3.     Berperan serta aktif dalam berbagai kegiatan ambalan
4.     Pada saat upacara hal-hal yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut:               
      - Pada saat menyayikan lagu hymne pramuka wajib menempelkan tangan kanan di dada kiri
      - Pada saat pengucapan dhasa dharma menemppelkan kepalan tangan pada dada kiri
      - Pada saat pengucapan tri satya menempelkan tiga jari kanan pada amsal ambalan dibagian kiri
5.     Menghimbau untuk mengucapkan salam pada sesama anggota penegak ambalan maupun Pembina
6.     Berprilaku Sopan
7.    Tidak memakai,menggunakan dan meminum minuman keras, Narkoba dan zat adiktif  lainya
8.     Pada saat memakai TKU(Tanda Kecakapan Umum) atau aksesoris lainya tidak boleh sambil  berdiri,berjalan atau berlari dan dikenakan secara berurutan sesuai aturan
9.     Memakai pakaian yang sopan dan sesuai aturan
10.    Tidak Boleh memakai aksesoris apapun
11.    Tidak boleh makan dan minum sambil berdiri
12.    Tidak boleh berkata kasar
13.    Biasa berbahasa Indonesia, kecuali pada saat tertentu
14.    Tidak diperkenankan menggunakan HP(Hand Phone) ketika kegiatan sedang berlangsung, kecuali meminta izin terlebih dahulu bila ada kepentingan mendadak.

Minggu, 06 Juli 2014


Rabu, 02 Juli 2014

BEBERAPA PERMAINAN PRAMUKA





1.       REBUT DAN RAMPAS
Peralatan             : Tongkat atau sapu lidi untuk tiap anak
Jumlah pemain : bebas
Waktu                  : 10 menit
Tujuan                 : Melatih kecekatan & Melatih kesetiakawanan
Unsur hiburan
Semua anak membentuk lingkaran dengan jarak kira-kira 1 meter. Semakin ahli, jaraknya dapat semakin jauh. Tiap anak memegang tongkatnya hingga berdiri tegak di lantai. Bila ada perintah “ya” tiap anak harus melepaskan tongkatnya dan cepat-cepat menangkap tongkat teman di sebelah kanannya. Bila tongkat itu sudah keburu jatuh, maka ia dikeluarkan. Permainan ini sangat menyenangkan dan dapat bervariasi. Jarak antar anak dapat diperbesar bila anak-anak sudah mampu, perintah dapat berupa “kiri” atau “kanan”. Bila ingin permainan lebil lama, maka setelah jatuh 3 kali baru dikeluarkan.

2.       PETANI DAN PENCURI
Peralatan               : Karet gelang atau tali, kantong kacang, atau potongan kain     
  atau agar kelihatan sungguhan, sebuah apel.
Jumlah pemain       : bebas
Waktu                   : 8-10 menit      
Tujuan                   : Melatih kecepatan
Unsur hiburan
Anak-anak membentuk lingkaran dan seorang anak, yang jadi pencuri disuruh keluar  ruangan. Selagi ia diluar, seorang anak ditunjuk sebagai petani. Sebuah benda ditaruh di tengah lingkaran. Pencuri tadi datang dan berjalan diluar lingkaran. Ia boleh memasuki lingkaran dari mana saja dan mencuri benda itu. Petani harus menangkapnya pada saat pencuri menyentuh benda tersebut. Pencuri itu harus lari  keluar dari lingkaran lewat jalan masuk tadi dan ia selamat bila ia dapat keluar tanpa tertangkap. Bila ia tidak tertangkap, maka petani itu harus jadi pencuri dan dipilih petani baru..

3.       ARUNG  JERAM
      Tujuan :
a.       Kerja sama tim.
b.       Kekompakan regu.
c.       Yang kuat membantu yang lemah.
d.       Menetapkan bersama trategi manajemen secara tepat.
e.       Menempatkan diri saat bertindak/ menjalankan tugas.
Alat :
a.       Tali besar ( diameter 4-5 cm/ seukuran tali Perahu ).( panjang tali sesuaikan dengan anggota regu yang bermain. )
b.       Kedua ujung tali di ikat dengan kuat.
Pelaksanan :
a.       Semua anggota regu duduk melingkar dengan kedua kaki menjulur (selonjor) ke dalam lingkaran.
b.       Tiap anggota regu kedua tangannya memegang tali, jarak antar anggota regu 0,5 – 1 meter. Jarak semakin rapat semakin baik.
Peraturan :
a.       Semua anggota regu berupaya untuk berdiri secara bersama-sama.
b.       Saat mencoba berdiri, kedua kaki/ lutut tidak boleh ditekuk ( Tetap Lurus )
c.       Setelah dapat berdiri bersama, kemudian berupaya duduk bersama kembali.
d.       Diupayakan jangan ada peserta yang terjatuh.
4.       STICK GOYANG
Tujuan :
a.       Menjalin Kerja sama dan toleransi antar anggota.
b.       Belajar saat menerima dan kapan harus memberikan kesempatan kepada yang lain.
c.       Berlatih menghadapi segala rintangan atas asas kebersamaan.
Alat :
a.       Tali Pramuka/ boleh rafia. Sejumlah peserta.
b.       Tongkat/ Balok/ papan kayu/ Bambu . Panjang ( 2- 3 meter ) Diameter bebas.
c.       Aneka Halang rintang.
Pelaksanaan :
a.       Tiap anggota regu berhak memegangi utas tali . boleh sebelah kanan atau kiri
b.       Ditengah tarikan utas tali, diletakkan balok/ bambu dengan tali dalam kondisi kencang.
c.       Regu Menempuh suatu perjalanan penuh rintangan dengan jarak bebas.
d.       Regu dengan waktu tempuh tercepat dan balok/ bambu tidak pernah jatuh itulah yang terbaik
e.       Rintangan dapat dibuat sedemikian rupa, sehingga perjalanan membawa balok/ bambu nampak penuh tantangan. ( Melebar, menyempit, lompat, naik dan turun)
5.       BAUT BARISAN
Tujuan :
Agar seluruh peserta bisa berkenalan lebih jauh, fisik maupun sifat-sifat mereka, sekaligus melatih mereka bekerjasama dalam kelompok.
Langkah-langkah :
a.       Peserta di bagi dalam 2 kelompok yang sama banyak (bila jumlah peserta ganjil, seorang pemandu bisa masuk ke dalam salah 1 kelompok).
b.       Pemandu menjelaskan aturan permainan sebagai berikut :
1.       Kedua keompok akan berlomba menyusun barisan. Barisan disusun berdasarkan aba-aba pemandu :tinggi badan, panjang rambut, usia dst.
2.       Pemandu akan menghitung sampai 10, kemudian kedua kelompok, selesai atau belum, harus jongkok.
3.       Setiap kelompok secara bergantian memeriksa apakah kelompok lawan telah melaksanakan tugasnya dengan benar.
4.       Kelompok yang menang adalah kelompok yang melaksanakan tugasnya dengan benar dan cepat ( bila kelompok dapat meyelesaikan tugasnya sebelum hitungan ke 10 mereka boleh langsung jongkok untuk menunjukkan bahwa mereka telah selesai melakukan tugas).
c.       Sebelum pertandingan di mulai bisa dicoba terlebih dahulu untuk memastikan apakah aturan mainnya sudah dipahami dengan benar.

6.       BERCERMIN
Latihan yang menyenangkan ini digunakan untuk mendiskusikan perasaan dan sikap dalam menuntun dan mengikuti orang lain. Acara sore yang baik.
      Prosedur :
a.       Setiap peserta memilih pasangannya dan berdiri berhadapan dengan tangan ke atas dalam jarak kira-kira sejengkal. Mereka menirukan gerak pasangannya, layaknya sebuah cermin, demikian bergantian sesuai dengan keinginan mereka.
b.       Untuk putaran kedua, pasangan meneruskan bercermin, tapi kali ini kedua tangannya bersentuhan dengan lembut.
c.       Pada putaran ketiga, mintalah mereka merapatkan tangan dengan kuat, dan melanjutkan menuntun mengikuti bergantian.

JENIS JENIS IKATAN DALAM PIONERING

                                                                        JENIS JENIS IKATAN DALAM PIONERING
Jenis-jenis ikatan yang digunakan dalam tali temali dan pionering oleh pramuka itu apa saja?. Terkadang saat melihat sebuah pionering yang sudah berdiri megah kita menjadi bingung dengan jenis simpul dan ikatan yang dipergunakan, seakan ribet sekali. Padahal, dalam tali temali maupun pionering yang dipraktekkan dalam kepramukaan, pada intinya hanya menggunakan 4 jenis ikatan. Ikatan pun menjadi salah satu teknik kepramukaan yang mendasar dan sangat sering digunakan.
Keempat jenis ikatan tersebut adalah ikatan palang, ikatan silang, ikatan canggah, dan ikatan kaki tiga. Dalam kesempatan kali ini kita akan mencoba mempraktekkan membuat masing-masing dari jenis ikatan tersebut. Ikatan dalam tali temali sendiri mempunyai arti sebagai rangkaian tali dengan susunan tertentu yang digunakan untuk menautkan (mengikat) dua atau lebih benda lain.

Ikatan Palang (Square Lashing)

Ikatan palang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai square lashing merupakan sebuah ikatan yang berfungsi untuk menautkan dua tongkat atau kayu yang posisinya saling tegak lurus. Penggunaannya seperti untuk membuat kerangka dragbar (tandu), dll. Untuk membuat ikatan palang, berikut adalah langkah-langkahnya:
  1. Buatlah simpul pangkal di salah satu tongkat. Belitkan sisa utas tali yang pendek ke utas tali yang panjang.
  2. Belitkan tali sedemikian rupa (lihat gambar poin “b” dan “c”) pada kedua tongkat. Bagian atas, jejerkan lilitan tali kedua di sebelah dalam lilitan kedua, demikian selanjutnya).
  3. Setelah sekitar empat lilit (atau sesuai kebutuhan), ganti arah putaran tali dan lilitkan di antara dua tongkat (lihat gambar “c” dan “d”)
  4. Akhiri ikatan dengan simpul pangkal di tongkat yang berbeda dengan yang disimpul pangkal pada pertama ikatan (lihat gambar “e” dan “f”)
ikatan-palang-2
ikatan-palang-3

Ikatan Silang (Cross Lashing)

Ikatan silang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai cross lashing. Kegunaan dari ikatan ini adalah untuk menautkan dua buah tongkat atau kayu yang psosisinya bersilangan. Umumnya sudut yang terbentuk dari dua buah tongkat tersebut tidak tegak lurus atau 90 derajat. Jika tegak lurus gunakanlah ikatan palang. Untuk membuat ikatan silang ikutilah langkah-langkah berikut:
  1. Buatlah simpul tambat di persilangan kedua tongkat.
  2. Belitkan tali antara sudut samping sebanyak empat kali (atau lebih sesuai kebutuhan).
  3. Ganti belitkan tali antara sudut atas-bawah sebanyak empat kali (atau lebih sesuai kebutuhan).
  4. Akhiri ikatan silang dengan membuat simpul pangkal di salah satu kayu atau tongkat.
simpul-tambat
ikatan-silang-2

Ikatan Canggah

Ikatan Canggah digunakan untuk menyambung dua buah tongkat secara lurus. Penggunaan ikatan canggah seperti untuk membuat tiang bendera dengan sambungan tongkat. Terdapat beberapa versi ikatan canggah, namun yang lebih sering digunakan adalah sebagaimana langkah-langkah berikut:
  1. Buatlah sosok di antara dua tongkat yang disambung.
  2. Utas tali yang panjang dililitkan mengitari kedua tongkat. Lilit hingga bagian akhir persambungan.
  3. Masukkan utas tali ke dalam sosok yang dibuat pada langkah pertama tadi (gbr. 2)
  4. Tarik ujung tali sehingga sosok masuk ke dalam lilitan (gambar 2)
  5. Utas tali yang bawah simpul dengan simpul pangkal
ikatan-canggah-3

Ikatan Kaki Tiga (Tripod Lashing)

Ikatan kaki tiga digunakan untuk menggabungkan tiga buah kayu atau tongkat dengan posisi saling lurus atau untuk membentuk kaki tiga. Untuk membuat ikatan kaki tiga ikuti langkah-langkah berikut:
  1. Susun tongkat secara sejajar.
  2. Buatlah simpul pangkal di salah satu tongkat terluar.
  3. Belitkan tali membentuk anyaman pada ketiga tongkat (gbr. 3 –4)
  4. Belitkan tali secara menyilang mengikat anyaman antara tongkat pertama dan kedua (gbr. 5-6)
  5. Lakukan hal serupa antara tongkat kedua dan ketiga (gbr. 7-8)
  6. Buatlah simpul anyam di tongkat terluar (yang berbeda tongkat dengan simpul anyam pertama) (gbr. 9-12)
ikatan-kaki-tiga-2
Itulah cara membuat ikatan palang, ikatan silang, ikatan canggah, dan ikatan kaki tiga. Jika gambar kurang jelas atau terlalu kecil, silakan klik kanan kemudian klik ‘buka tautan di tab baru’ untuk memperoleh gambar dengan ukuran yang lebih besar. Semoga teknik kepramukaan mengenai ikatan dalam tali temali dan pionering yang biasa digunakan pramuka ini membantu kita menguasai teknik kepramukaan.

BERKEMAH YANG BAIK DAN BENAR

ImageBERKEMAH YANG BAIK DAN BENAR


Jadi anggota Pramuka tapi gak pernah berkemah rasanya tidaklah lengkap, karena penerapan metode pendidikan Kepramukaan salah satunya melalui kegiatan berkemah. tujuan dan salah satu upaya penerapaasaran kegiatan tentunya anda sudah mengenal betul. Namun demikian banyak yang kurang memahami bagaimana tatacara berkemah yang baik. Adakalanya bahkan memiliki resiko tinggi. Nah,  bagaimana berkemah yang benar ?
Untuk suatu perkemahan yang baik, pentahapan yang harus ditempuh adalah :
a.          Persiapan
1)       Penentuan waktu, tempat, tujuan dan biaya.
2)       Pengadaan peralatan, peninjauan lokasi.
3)       Pemberitahuan dan perijinan. ( Ijin Ortu dan Keamanan setempat)
4)       Pembentukan Panitia.
5)       Membuat jadwal kegiatan/ acara dan mempersiapkan acara pengganti bila situasi dan kondisi cuaca berubah-ubah.
6)       Memantapkan kesiapan mental, fisik dan ketrampilan.
b.          Pelaksanaan
Kegiatan hendaknya sesuai rencana, dilaksanakan menurut perkembangan keadaan dan diusahakan adanya acara pengganti atau tambahan, serta faktor pengamanan dan keselamatan peserta harus diperhatikan.
c.          Penyelesaian
Pembongkaran tenda-tenda, kebersihan lingkungan dan pengecekan barang harus dilaksanakan secara tertib.

Syarat-syarat memilih tempat berkemah adalah :
a.          Tanahnya rata atau sedikit miring berumput.
b.          Ada pohon pelindung.
c.          Ada saluran pengeringan pembuangan air.
d.          Dekat sumber air.
e.          Terjamin keamanannya, terutama ancaman dari binatang buas, melata/ berbisa.
f.           Tidak terlalu dekat dengan kampung dan jalan raya.
g.          Tidak terlalu jauh dari pasar, pos kesehatan, pos keamanan.
h.          Hindari angin masuk ke dalam tenda, dengan cara didirikan tenda membujur menurut mata angin.